Safar bukan merupakan alasan bagi seorang muslim untuk mengabaikan ibadahnya, khususnya shalat, sebagaimana yang sering didapatkan pada sebagian kaum muslimin yang mengabaikan ibadahnya ketika dia safar. Akan tetapi perlu juga diketahui bahwa Islam memberikan kemudahan ibadah di tengah safar.
Kenyataan ini setidaknya dapat dinilai dari dua sisi:
Sisi pertama, menunjukkan bahwa Ibadah dalam Islam tidak dibatasi oleh tempat tertentu. Di mana saja kita berpijak, disitulah bumi Allah dan disitulah kita diwajibkan untuk menunjukkan penghambaan kita kepada-Nya.
“Dan bumi dijadikan bagiku sebagai mesjid dan alat bersuci”
Sisi Kedua, Bahwa Islam adalah agama yang fleksibel, penerapan ajaran-ajarannya dapat disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang ada, sehingga memberikan kemudahan bagi seorang hamba untuk beribadah kepada Allah. Namun demikian sisi ini harus tetap berdasarkan petunjuk syariat, agar tidak setiap orang memberikan kesimpulan sendiri-sendiri.
Allah Ta‟ala berfirman :
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu” (QS. al-Maidah : 6)
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. al-Baqarah : 185)
Rukhsah adalah semacam dispensasi atau keringanan yang Allah berikan dalam beberapa bentuk ibadah karena alasan tertentu, di antaranya karena alasan safar. Bahkan Allah Ta‟ala senang jika rukhsah yang Dia sediakan digunakan oleh hamba-Nya.
Rasulullah bersabda :
“Sesungguhnya Allah senang jika keringanan-keringanan-Nya (rukhsahNya) digunakan sebagaimana senangnya Dia jika ajaran-ajaranNya yang lengkap digunakan.” (Riwayat Ibnu Hibban dan Thabrani. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa‟ul Ghalil, no. 564)
Batasan safar dalam syariat
Untuk menentukan kapan berlaku rukhsah dalam safar, penting bagi kita untuk mengetahui apa batasan safar dalam tinjauan syariat.
Pertama, Jarak yang ditempuh
Jumhur ulama berpendapat bahwa jarak yang dianggap safar dalam pandangan syar'i adalah perjalanan sehari semalam, atau 4 burd (barid), atau 16 farsakh, atau sekitar 48 mil, atau sekitar 76,8 km.
Hubungan masing-masing jarak tersebut adalah: bahwa perjalanan setengah hari disebut sebagai satu barid, maka perjalanan sehari semalam sama dengan 4 barid, sedangkan satu barid sama dengan 4 farsakh, maka 4 barid sama dengan 16 farsakh, adapun satu farsakh sama dengan kira-kira 3 mil, maka 16 farsakh sama dengan 48 mil, sedangkan satu mil sama dengan kira-kira 1,6 km, maka 48 mil sama dengan 76,8 km.
Berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa mereka berdua melakukan qashar shalat dan buka puasa pada jarak empat burd; yaitu enam belas farsakh. 2)
Dan Rasulullah menyebut perjalanan sehari semalam sebagai safar, sebagaimana sabdanya:
“Tidak halal bagi seorang wanita beriman kepada Allah dan hari akhir untuk melakukan safar perjalanan sehari semalam tanpa mahram”.
Pendapat ini dikuatkan oleh Syekh Ibn Baz rahimahullah. Karena selain berdasarkan dalil yang ada, juga sebagai langkah kehati-hatian dan menutup pintu terhadap tindakan menyepelekan permasalahan, agar jangan ada orang yang sekedar pergi ke pinggir kota dia sudah merasa boleh berbuka puasa, apalagi dengan adanya kendaraan. Wallahua'lam.
Kedua, Lama menetap dalam safar
Seseorang yang dalam safarnya tinggal di sebuah tempat, apakah berlaku baginya hukum safar ?
Jika dia tidak dapat memastikan berapa lama masa tinggalnya di tempat tesebut, maka berlaku baginya hukum safar, walaupun berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Adapun jika dia dapat memastikan masa tinggalnya di sebuah tempat dalam safarnya, maka pendapat yang lebih kuat dan lebih hati-hati adalah tidak lebih dari empat hari. Maksudnya, jika seseorang menetap di suatu tempat dalam safarnya selama empat hari atau kurang, maka selama itu berlaku baginya hukum safar, dia boleh qashar shalat. Namun jika lebih dari itu, tidak berlaku lagi hukum safar baginya, dia harus shalat dengan lengkap.
Dalil dari ketetapan ini adalah perbuatan Rasulullah ketika beliau menetap di Mekah dalam Haji Wada', selama empat hari. Maka selama itu belia melakukan shalat dengan cara qashar. (Muttafaq alaih)
Adapun riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah menetap di Mekkah pada peristiwa Fathu Mekah selama sembilan belas hari, dan di Tabuk selama dua puluh hari, dan selama itu pada kedua kejadian tersebut beliau melakukan shalat dengan cara qashar, hal tersebut dipahami bahwa menetapnya Rasulullah di kedua tempat tersebut adalah menetap yang tidak dapat dipastikan masa berlangsungnya. (Sholatul Mu’min, Syaikh Said bin Ali bin Wahf al-Qhahtani, hal. 685-686)
Kapan rukhsah dalam safar mulai dapat dilakukan?
Meskipun safar dalam penilaian syar'i baru dianggap jika perjalanan yang ditempuh berjarak minimal 76,8 km, namun itu bukan berarti kita harus sampai pada jarak tersebut untuk dapat mengambil rukhsah yang terdapat dalam safar. Kita sudah boleh mengambil rukhsah tersebut jika kita telah keluar dari negeri (kota) atau wilayah pemukiman di kota tempat kita menetap, walaupun belum sampai jarak minimal dalam safar yang mendapatkan rukhsah, selama safar yang akan kita tuju diperkirakan melampaui jarak tersebut.
Misalnya, seseorang dari Riyadh hendak umrah ke Mekkah yang berjarak kurang lebih 1000 km. Ketika dia telah melewati kota Riyadh atau wilayah pemukiman di kota tersebut, maka dia sudah boleh melakukan qashar shalat, atau berbuka puasa. Atau jika dia hendak safar menggunakan pesawat, maka setibanya di airport, dia sudah boleh melakukan shalat dengan cara qashar, karena pada umumnya, airport berada di luar wilayah pemukiman.
Pendapat ini bersumber dari perbuatan Rasulullah ketika hendak melakukan haji Wada dari Madinah ke Mekkah, beliau melakukan shalat Ashar dua rakaat (qashar) di Dzul Hulaifah (Muttafaq „alaih. Dzul Hulaifah adalah miqat bagi penduduk Madinah yang sekarang di kenal dengan Abyar ‘Ali, atau lebih akrab di lidah bangsa kita dengan sebutan Bir ‘Ali.), padahal jarak antara Dzul Hulaifah dengan Madinah hanya sekitar 10 km.